RINTIHAN TANAH WULUBLOLONG
(by :Ono Soba)
Panas,sepanas neraka di siang hari
itu. Di bawah tenda tipis kantin Sekolah SDK Wulublolong, kududuk terpuruk di
bangku kantin itu, terselip di antara teman – temanku, walaupun sia – sia untuk
dapat terlindung dari teriknya sinar matahari. Dengan langkah yang berat
kumeninggalkan jejak – jejak kakiku tuk
menjauh menghindari panas yang terasa membakar kulitku.
Siang itu, kudapati rumahku dalam keadaan ramai. Banyak tetanga berdatangan mengerumuni halaman rumahku yang sempit. Akupun segera berlari menghampiri kerumunan itu dan segera bertanya pada salah seorang tetanggaku ‘’Bu, sebenarnya apa yang telah terjadi?’’ tanyaku dengan penuh penasaran ‘’ Nak, tadi barusan seorang muslim memukul kakekmu’’, jawab ibu itu dengan raut wajah yang memerah bagai delima. Akupun naik pitam. Dengan langkah yang geram kumenerobos kerumunan orang – orang yang menghalangi langkahku itu. Ketika kumasuk ke dalam rumah, kumelihat kakekku dalam keadaaan babak belur. Wajahnya yang keriput itu, kini telah mengencang dipenuhi memar yang tak ubahnya dengan buah yang telah membusuk. Dengan penuh iba, kumembantu ibuku mengompres memar yang ada di wajah kakekku. Sedangkan di luar rumahku, kudengar berbagai luapan amarah dan sumpah serapah dikelontorkan begitu saja dengan aroma – aroma patriotisme, tanpa menghiraukan panas matahari yang membakar kulit – kulit yang pada umumnya bernuansa sawo matang itu.
Aku tak bisa memejamkan mataku siang itu. Emosi dan dendam masih tersingkap di tabir hatiku, serta sajak – sajak yang terlontar dari mulut – mulut tetanggaku masih bersalut dan bergetar dalam batinku.
Sore itu suasana rumahku sangat hening, hampa bagaikan lumbung yang tak terisi. Lolongan dari para tetangga yang begitu ribut bagaikan raungan beribu – ribu lebah itu, kini telah lenyap hilang bagai cahaya ditelan kabut. Akupun beringsut menuju kamar kakekku. Disana kutemui kakkekku masih tergolek di atas kasur kepok yang begitu lusuh. Memar yang menodai wajahnya yang kusam itu, masih membekas seperti sediakala. Gemericik daunyang ditiup angin, jeritan jangkrik serta kicauan burung di bawah rona langit yang gelap membingkai malam yang penuh dengan sunyi senyap. Akan tetapi, teriakan serta ronrongan sepeda motor yang menggelegar bagai petir itu melenyapkan segala kicauan maupun jeritan jangkrik yang menggema dalam gendang telingaku. Dengan sigap kumelucut menuju jalan raya di depan rumahku yang kini telah dikerumuni masa. Akupun berbaur bersama kerumunan itu, yang sebagian besar adalah tetanggaku. Aku mulai mondar – mandir mencari penyebabnya. Secara tak sengaja seuntaian kalimat menerosok menembusi gendang telingaku. Untaian kalimat yang menyatakan bahwa beberapa tetanggaku telah membakar sebagian pondok garam milik orang muslim di Lohayong. Ternyata tindakan itu sebagai balas dendam atas perlakuan kekerasan orang muslim terhadap kakekku. ‘’Oh, Wulublolong, mengapa selalu ada kerusuhan yang terangkum dalam tabirmu, mengapa tak kau berikan kami ketentraman tuk menyejukkan jiwa – jiwa di bumimu yang gersang ini’’, batinku sembari menitikkan airmata.
malam itu kubiarkan tetesan airmata yang begitu asin merusak pipiku yang mulus. Aku begitu kecewa dengan keadaan kampungku yang tidak begitu aman. Hatiku tak keruan. Namun aku dapat memejamkan mataku dan terlelap dalam buaian angin malam.
Ayam baru saja berkokok dan lantai dari tanah rumahku yang dikeraskan masih dingin membeku. Saat tiba dni hari terdengar rongrongan sepeda motor, mobil serta lolongan masa menggema ke seantero kampungku. Aku terkesiap. Jantungku berdegup cepat, seolah – olah aku telah berlari puluhan kilo. Hatiku tak keruan, dan berbagai perasaan takut berselweran dalam lumbung pikiranku. Dengan ragu – ragu ku melangkah menuju dinding kamarku yang terbuat dari ‘’halar’’ yang semakin melapuk, ku mengintip dari balik rekahan halar itu. Bayang – bayangan itupun muncul dari kegelapan dan semakin jelas, sehinnga dengan mudah aku mengenalnya. Sontak, aku berteriak membangunkan seluruh isi rumahku. Umat Islam telah datang untuk meluapkan dendam mereka. Aku, ayah, ibu serta kakekku dengan segera keluar rumah tuk menghindar dari amukan masa. Dengan airmata berurai, serta degup jantung yang tak menentu, kumenyaksikan detik demi detik seisi kampungku dirampok dan dibakar. Darah berceceran dimana – mana, korban peperangan tergeletak tak bernyawa disana sini.
Serpihan – serpihan rumah berterbangan bagai serbuk kayu hasil gergajian. Binatang – binatang peliharaan dibunuh dan dibakar, kini telah lenyap, kembali melebur bersama debu. Sumur – sumur sebagai sumber air bagi kami dirubuhkan, air yang jernih, kini telah menjadi keruh bagai lumpur. Semua isi kampungku perlahan –lahan lenyap tak tersisa. Perang telah terjadi. Betapa kejamnya perlakuan orang – orang muslim terhadap kami.
Wulublolong, kini telah berubah dalam sekejab. Kedamaian yang selama ini kami peroleh kini telah hilang. Wuliblolong betapa pahit deritamu, mengikuti liku – liku langkahmu, engkau yang semula megah dalam singgasanamu kini meringkuk sebagai hamba sahaya, sahabat setiamu kini berbalik menjadi musuh.
Kini hanya puing – puing seng yang tersisa walaupun telah mengarat dimakan api serta pondasi – pondasi dan tembok – tembok rumah yang memerah terbakar api.
Aku, ayah, ibu dan kakek kini merana. Yang selama ini kami peroleh kini telah hilang. Wulublolong betapa pahit deritamu, mengikuti liku – liku langkahmu, engkau yang semula megah dalam singgasanamu kini meringkuk sebagai hamba sahaya, sahabat setiamu kini berbalik menjadi musuh.
Kini hanya puing – puing seng tersisa walaupun telah mengarat dimakan api serta fondasi – fondasi dan tembok rumah yang terbakar api. Aku, ayah, ibu dan kakekku kini merana mencari keluarga tuk berpijak. Namun semangat patriotisme masih tumbuh ddalam diri kami tuk memnangun singgasana, mengangkat derajat dari seorang hamba sahaya. Selama airmata kami belum kering kami tak akan berdamai. Itulah semangat kami, dendam kami, tuk mengusir umat muslim dari pulau Solor ini.
Siang itu, kudapati rumahku dalam keadaan ramai. Banyak tetanga berdatangan mengerumuni halaman rumahku yang sempit. Akupun segera berlari menghampiri kerumunan itu dan segera bertanya pada salah seorang tetanggaku ‘’Bu, sebenarnya apa yang telah terjadi?’’ tanyaku dengan penuh penasaran ‘’ Nak, tadi barusan seorang muslim memukul kakekmu’’, jawab ibu itu dengan raut wajah yang memerah bagai delima. Akupun naik pitam. Dengan langkah yang geram kumenerobos kerumunan orang – orang yang menghalangi langkahku itu. Ketika kumasuk ke dalam rumah, kumelihat kakekku dalam keadaaan babak belur. Wajahnya yang keriput itu, kini telah mengencang dipenuhi memar yang tak ubahnya dengan buah yang telah membusuk. Dengan penuh iba, kumembantu ibuku mengompres memar yang ada di wajah kakekku. Sedangkan di luar rumahku, kudengar berbagai luapan amarah dan sumpah serapah dikelontorkan begitu saja dengan aroma – aroma patriotisme, tanpa menghiraukan panas matahari yang membakar kulit – kulit yang pada umumnya bernuansa sawo matang itu.
Aku tak bisa memejamkan mataku siang itu. Emosi dan dendam masih tersingkap di tabir hatiku, serta sajak – sajak yang terlontar dari mulut – mulut tetanggaku masih bersalut dan bergetar dalam batinku.
Sore itu suasana rumahku sangat hening, hampa bagaikan lumbung yang tak terisi. Lolongan dari para tetangga yang begitu ribut bagaikan raungan beribu – ribu lebah itu, kini telah lenyap hilang bagai cahaya ditelan kabut. Akupun beringsut menuju kamar kakekku. Disana kutemui kakkekku masih tergolek di atas kasur kepok yang begitu lusuh. Memar yang menodai wajahnya yang kusam itu, masih membekas seperti sediakala. Gemericik daunyang ditiup angin, jeritan jangkrik serta kicauan burung di bawah rona langit yang gelap membingkai malam yang penuh dengan sunyi senyap. Akan tetapi, teriakan serta ronrongan sepeda motor yang menggelegar bagai petir itu melenyapkan segala kicauan maupun jeritan jangkrik yang menggema dalam gendang telingaku. Dengan sigap kumelucut menuju jalan raya di depan rumahku yang kini telah dikerumuni masa. Akupun berbaur bersama kerumunan itu, yang sebagian besar adalah tetanggaku. Aku mulai mondar – mandir mencari penyebabnya. Secara tak sengaja seuntaian kalimat menerosok menembusi gendang telingaku. Untaian kalimat yang menyatakan bahwa beberapa tetanggaku telah membakar sebagian pondok garam milik orang muslim di Lohayong. Ternyata tindakan itu sebagai balas dendam atas perlakuan kekerasan orang muslim terhadap kakekku. ‘’Oh, Wulublolong, mengapa selalu ada kerusuhan yang terangkum dalam tabirmu, mengapa tak kau berikan kami ketentraman tuk menyejukkan jiwa – jiwa di bumimu yang gersang ini’’, batinku sembari menitikkan airmata.
malam itu kubiarkan tetesan airmata yang begitu asin merusak pipiku yang mulus. Aku begitu kecewa dengan keadaan kampungku yang tidak begitu aman. Hatiku tak keruan. Namun aku dapat memejamkan mataku dan terlelap dalam buaian angin malam.
Ayam baru saja berkokok dan lantai dari tanah rumahku yang dikeraskan masih dingin membeku. Saat tiba dni hari terdengar rongrongan sepeda motor, mobil serta lolongan masa menggema ke seantero kampungku. Aku terkesiap. Jantungku berdegup cepat, seolah – olah aku telah berlari puluhan kilo. Hatiku tak keruan, dan berbagai perasaan takut berselweran dalam lumbung pikiranku. Dengan ragu – ragu ku melangkah menuju dinding kamarku yang terbuat dari ‘’halar’’ yang semakin melapuk, ku mengintip dari balik rekahan halar itu. Bayang – bayangan itupun muncul dari kegelapan dan semakin jelas, sehinnga dengan mudah aku mengenalnya. Sontak, aku berteriak membangunkan seluruh isi rumahku. Umat Islam telah datang untuk meluapkan dendam mereka. Aku, ayah, ibu serta kakekku dengan segera keluar rumah tuk menghindar dari amukan masa. Dengan airmata berurai, serta degup jantung yang tak menentu, kumenyaksikan detik demi detik seisi kampungku dirampok dan dibakar. Darah berceceran dimana – mana, korban peperangan tergeletak tak bernyawa disana sini.
Serpihan – serpihan rumah berterbangan bagai serbuk kayu hasil gergajian. Binatang – binatang peliharaan dibunuh dan dibakar, kini telah lenyap, kembali melebur bersama debu. Sumur – sumur sebagai sumber air bagi kami dirubuhkan, air yang jernih, kini telah menjadi keruh bagai lumpur. Semua isi kampungku perlahan –lahan lenyap tak tersisa. Perang telah terjadi. Betapa kejamnya perlakuan orang – orang muslim terhadap kami.
Wulublolong, kini telah berubah dalam sekejab. Kedamaian yang selama ini kami peroleh kini telah hilang. Wuliblolong betapa pahit deritamu, mengikuti liku – liku langkahmu, engkau yang semula megah dalam singgasanamu kini meringkuk sebagai hamba sahaya, sahabat setiamu kini berbalik menjadi musuh.
Kini hanya puing – puing seng yang tersisa walaupun telah mengarat dimakan api serta pondasi – pondasi dan tembok – tembok rumah yang memerah terbakar api.
Aku, ayah, ibu dan kakek kini merana. Yang selama ini kami peroleh kini telah hilang. Wulublolong betapa pahit deritamu, mengikuti liku – liku langkahmu, engkau yang semula megah dalam singgasanamu kini meringkuk sebagai hamba sahaya, sahabat setiamu kini berbalik menjadi musuh.
Kini hanya puing – puing seng tersisa walaupun telah mengarat dimakan api serta fondasi – fondasi dan tembok rumah yang terbakar api. Aku, ayah, ibu dan kakekku kini merana mencari keluarga tuk berpijak. Namun semangat patriotisme masih tumbuh ddalam diri kami tuk memnangun singgasana, mengangkat derajat dari seorang hamba sahaya. Selama airmata kami belum kering kami tak akan berdamai. Itulah semangat kami, dendam kami, tuk mengusir umat muslim dari pulau Solor ini.